Mengulas Kembali UU MD 3


Diskusi Publik Mahasiswa (DIKMA) #2

“Mengulas Kembali UU MD 3”


UU MD 3 resmi berlaku mulai Kamis, 15 Maret 2018 meski tanpa tanda tangan dari Presiden Jokowi. Presiden juga mengumumkan tidak akan mengeluarkan Perpu, beliau meminta masyarakat untuk mengajukan uji UU kepada Mahkamah Konstitusi apabila merasa kurang setuju dengan isi revisi UU MD 3.
Munculnya revisi UU ini menimbulkan banyak pro dan kontra, mulai dari waktu pengesahan UU MD 3 oleh DPR dalam waktu yang sangat singkat, hingga konten dalam UU tersebut yang kontroversial. Terdapat tiga pasal yang menimbulkan banyak reaksi masyarakat, yaitu pasal 73 mengenai kewajiban Kepolisian melaksanakan pemanggilan paksa jika diminta DPR, pasal 122 huruf k mengenai penyampaian kritik yang melecehkan DPR akan dikenakan sanksi pidana, dan pasal 245 mengenai pemanggilan DPR apabila terkena kasus harus melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan disetujui secara tertulis oleh presiden. Selain itu, muncul pula anggapan adanya penguatan imunitas DPR. Setujukah Anda dengan anggapan tersebut?
Jika ditinjau lebih jauh lagi, munculnya UU MD 3 bermula dari tertangkapnya ketua DPR Setya Novanto. Berbagai reaksi masyarakat muncul dalam menanggapi kasus ini dari mulai berlomba menghakimi di sosial media , menjelek-jelekkan Setya Novanto dan DPR secara bebas, dan juga bermunculan meme-meme yang merendahkan DPR. Anggapan masyarakat terhadap DPR cenderung ke arah negatif, sehingga muncul rasa ketidakpercayaan pada wakil yang dipilihnya sendiri. Sebenarnya jika ditelusuri, kesalahan ini dimulai dari pemilu. Masyarakat tidak memilih dengan benar wakil-wakilnya yang duduk di kursi DPR, banyak yang asal milih, dan bahkan tidak mengenal wakil yang dipilihnya. Jika dilihat dari pemberitaan di televisi, DPR justru banyak disoroti karena kasus-kasus negatifnya bukan kinerja baik yang telah dilakukan. Dalam tulisan ini kami melihat dari berbagai sudut pandang, mengenai pro dan kontra UU MD 3.
Sebenarnya sebelum adanya revisi UU MD 3, imunitas terhadap DPR mengenai pengkritikan sudah ada dalam UU. Namun demikian, aturan tersebut belum diatur dengan jelas. Melalui revisi UU MD 3 ini, DPR bermaksud memperjelas sanksi terhadap masyarakat yang memberikan kritik yang mengarahkan pada pelecehan kepada DPR. Saat ini kebanyakan masyarakat mengasumsikan DPR itu buruk sehingga masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya revisi UU MD 3 ini. Namun demikian, apabila DPR kita yang saat ini menduduki jabatan sebagai wakil kita memang orang-orang baik dan benar-benar membela rakyat, maka adanya UU MD 3 membuat mereka lebih kuat dan lebih bisa menyampaikan aspirasi rakyat.
Dalam UU MD 3 sebenarnya tidak ada yang salah karena DPR hanya mnginginkan masyarakat tidak menghina profesinya. Mengenai pasal 245 tentang adanya MKD dalam proses pemanggilan DPR tidak menghalang-halangi penyidikan karena wewenang MKD hanya sebagai pemberi pertimbangan. Dilihat dari tanggungjawab DPR sebagai perwakilan masyarakat yang ada di dalam pemerintahan, maka memang perlu adanya penguatan wewenang. Peran DPR adalah penyampai aspirasi rakyat. Contoh saja mengenai penetapan APBN, tanpa DPR pemerintah dapat melakukan penganggaran yang tidak sesuai.
Jika dilihat dari penyampaian kritik, DPR dalam membuat kebijakan pasti terdapat unsur politik. Masyarakat pun sama, sangat dimungkinkan penyampaian pendapatnya diboncengi kepentingan politik. Opsi lain dalam melakukan kritik yaitu memang ingin mengkritik yang membangun atau hanya ikut-ikutan saja. Untuk itu diperlukan aturan tegas agar penyampaian kritik dilakukan secara baik dan benar-benar membangun.
Selain tanggapan di atas, terdapat pula banyak kontra terhadap isi UU MD 3. Jika DPR justru sulit dikritik, maka bagaimana cara membangun kebijakan-kebijakan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan serta keadaan masyarakat? Seharusnya DPR terbuka terhadap kritik yang membangun dan melakukan banyak pengkajian untuk menetapkan suatu aturan. Menurut banyak pihak, UU MD 3 yang membuat DPR kebal terhadap kritik, padahal kritik merupakan salah satu bentuk kontrol terhadap kinerja DPR. Penyampaian pendapat juga merupakan hak setia warga negara yang sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 28.
Kontroversi yang menjadi soreotan masyarakat lainnya yaitu dalam pasal 245 mengenai mekanisme pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum harus mendapat persetujuan DPR dengan sebelumnya mendapat pertimbangan dari MKD. Hal ini memicu ketidak transparan, seakan-akan pasal ini melindungi DPR karena pemanggilan DPR harus dengan persetujuan MKD. Sedangkan MKD sendiri memiliki fungsi hanya sebagai penasihat di lingkungan DPR, anggota MKD pun juga berisi para DPR. Contoh jika KPK ingin memanggil salah seorang anggota DPR maka akan kesulitan dan ini akan menghambat kinerja KPK karena harus melalui MKD dan disetujui presiden. Pasal lain yang menjadi polemik yaitu pasal 73 ayat 4 huruf d, yang mengatur kepolisian harus menuruti perintah DPR mengenai pemanggilan secara paksa, itu menyalahi aturan.
Sesuatu yang unik mengenai UU MD 3 yaitu penetapan persetujuan UU ini yang sangat cepat. Hanya memerlukan tujuh jam dalam sidang paripurna DPR dan UU ini telah disetujui. Padahal untuk pengesahan UU lain memerlukan waktu yang lama.  Terdapat banyak tanggapan mengenai fakta cepat diputuskannya UU MD 3, yaitu disebabkan karena gejolak mengenai DPR semakin tinggi setelah tertangkapnya Setya Novanto, kehormatan DPR tidak diperdulikan lagi, serta hujatan-hujatan sangat cepat bermunculan melalui sosial media. Jika tidak cepat diatasi maka hal ini akan mengguncang persatuan Indonesia. Disisi lain cepatnya UU ini disahkan merupakan indikasi keingainan DPR agar kebal terhadap kririk. Mengapa untuk masalah yang sebenarnya tidak terlalu urgent UU sangat cepat diputuskan tanpa pengkajian lebih lanjut? Bahkan dimungkinkan peristiwa ini hanya masalah perseorangan. Tetapi untuk UU yang urgent seperti terorisme justru diputuskan sangat lama.

Simpulan:
Sebenarnya permasalah MD 3 yaitu pada pemahaman mengenai kata ‘kehormatan’ dan batasan mengenai mana yang disebut kritik melecehkan dan mana yang disebut kritik membangun. Perlu adanya pembahasan dan pengkajian lebih lanjut mengenai persamaan persepsi kata kehormatan dan batasan-batasan dalam menyampaikan kritik. Selain itu, alangkah lebih baik jika mulai saat ini masyarakat lebih selektif dalam memilih wakilnya di kursi DPR, serta lebih bijak dalam menyampaikan kritik maupun aspirasinya dalam sosial media.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANNIVERSARY ke 8

KRISTAL SUKSES MEWADAHI INOVASI DAN KREATIVITAS MAHASISWA INDONESIA